Di
Sumbawa semua ilmu yang diperolehnya diamalkan kepada masyarakat. Dang mulai
belajar hidup mandiri. Pagi-pagi dia harus pergi mengajar di sekolah, sedangkan
sore dia harus mengajar mengaji dan ilmu agama kepada anak – anak di
kampungnya. Hingga suatu hari dia berniat untuk membangun masjid dan tempat
khusus belajar ngaji dan ilmu agama bagi anak – anak disana. Dengan kerja keras dan bantuan dari keluarga serta
masyarakat setempat dia berhasil menggapai impiannya. Di tempat itu banyak
orangtua dari beberapa desa yang menitipkan anaknya untuk belajar ngaji dan
mengkaji ilmu agama. Ternyata kesibukan tersebut membuat diri seorang Dang
telah mampu menguasai separuh dari isi al – Qur’an dan banyak hadits yang
dihafalnya. Dia bersyukur kepada Allah atas nikmat yang ia terima selama ini,
sungguh tak ternilai harganya.
Mustafa
dan Hadijah selaku orangtua Dang segera ingin menimang cucu dari keturunan
Dang. Merekapun mendesak agar Dang segera menikah. Tiap malam Dang selalu
mendengar pertanyaan yang sama dari kedua orangtuanya bahwa kapan Dang mau
menikah.
“Nak,
kapan kamu menikah? Coba kamu lihat teman – teman seusiamu sudah pada nikah
semua. Kalau susah cari pasangan, ntar Ua’ dan Ma’ yang carikan”, kata Ayahnya
dengan penuh harapan.
“Tidak
perlu Ua’ dan Ma’ carikan karena Nanda sudah jatuh cinta pada wanita yang
sampai mati Nanda tak akan bisa melupakannya. Dialah yang menjaga hati ini, dan Nanda akan selalu
mencintainya”, jelas Dang dengan tetesan airmata.
“Maksud
kamu Habibah?”, Tanya Ua’.
“Ya,
hanya dia yang mampu meluluhkan hati ini, dia adalah wanita yang Nanda impikan,
dia adalah tujuan hidup Nanda, dia telah mengunci hati ini untuk tidak menerima
cinta lain. Jadi Nanda mohon jangan paksa Nanda untuk melupakannya, Nanda
mohon!”, jawabnya dengan cucuran airmata.
Kedua
orangtua itupun tak bisa memaksa kehendak anaknya agar bisa melupakan Habibah.
Akhirnya kedua orangtua itu mencari cara lain agar Dang bisa melupakan Habibah
dan mau menikah dengan wanita lain. Mereka mencari sepupu atau keluarga
terdekat yang masih memiliki anak perempuan untuk memikat hati Dang agar mau
menikahinya. Kebetulan waktu itu ada satu keluarga dari pihak Ma’ yang masih memiliki
anak perempuan. Anak itu bernama Dewi Disamping itu dari pihak Ua’ ada
juga yang masih memiliki anak perempuan. Anak itu bernama Liska.
Orangtua Dang dan orangtua kedua keluarga tersebut menyetujui karena kedua
keluarga tersebut menunggu hari itu datang agar anaknya dinikahkan dengan Dang.
Liska dan Dewipun mulai berlomba untuk mendapatkan hati Dang.
Liska
adalah sepupu Dang yang pernah bermain bersamanya ketika berumur 5 tahun
setelah itu mereka berpisah dan bertemu kembali ketika Dang sedang duduk santai
depan rumahnya. Ketika itu Dang pulang liburan setelah Ujian Akhir Semester di
IAIN Mataram. Sedangkan Dewi adalah sepupunya yang dari kecil sering bermain
dengannya. Kini kedua gadis itu dihadapkan dengan masalah bagaimana caranya
untuk memikat hati seorang Dang agar mau menikahinya. Liska adalah sosok wanita
lugu yang kerjaannya hanya bisa diam dan takut melakukan sesuatu ketika bertemu
dengan Dang. Sementara Dewi adalah sosok wanita periang dan suka jalan – jalan
sehingga dengan sikapnya seperti itu Dang sering diajak keluar jalan – jalan
tuk mencari udara segar.
Tak
terasa waktu telah berjalan 3 bulan namun kerja kedua anak itu belum membuahkan
hasil. Hingga suatu malam Dang mengundang Dewi dan Liska untuk sholat Subuh
berjama’ah dimasjidnya. Kebetulan hari itu tepat tanggal 7 Oktober 2012.
Setelah selesai sholat Dang menghampiri kedua anak itu.
“Liska,,,Dewi,,,
kalian pernah jatuh cinta dan pernah merasakan indahnya kebahagiaan bersama
orang yang kalian cintai. Aku hanyalah seorang pecinta yang tak mampu menggapai
cintaku. Ku tahu dia tercipta bukan untukku. Tapi sedetikpun hati ini tak
sanggup melupakannya. Di depan kalian dan demi tempat yang mulia ini aku akan
selalu mencintainya dan begitu rindu akan hadirnya disepanjang hidupku. Hati
ini tak bisa menerima cinta lain kecuali cinta seorang Habibah, wanita yang tak
akan bisa kalian ganti posisinya dihatiku”, ujar Dang sambil memukul dadanya.
Sejenak suasana terdiam. Liska dan Dewi terpaku
sambil terharu dengar kata – kata dari kakak misannya itu. Liska dan Dewi ikut
menangis melihat sosok kakaknya yang begitu teguh pada pendiriannya untuk
selalu mencintai Habibahnya.
“Apa
keistimewaan seorang Habibah sehingga kakak tidak bisa melupakannya dan sungguh
mengharapkan dialah pasangan hidup kakak?”, Tanya Dewi dengan suara sendu.
“Benar
kau ingin tahu tentang dia?”, Tanya Dang kembali.
“Benar
kak!”. Sahutnya
Dangpun
memulai ceritanya.
Hari itu…
Dengan hati yang tenang ku berjalan menuju kampus
yang merupakan sekolah baruku yaitu IAIN Mataram. Waktu itu aku akan mengikuti
tes wawancara yang merupakan syarat untuk bisa masuk diperguruan itu. Hari itu
ku berkenalan dengan dua anak kembar keturunan Bima yang secara kebetulan satu
ruangan tes denganku. Namanya Habibi dan Habib. Ternyata Tuhan memberkati pertemuan
itu karena sepanjang aku sekolah di Mataram mereka banyak membantuku baik dari
segi materil maupun moril.
Ketika itu kita bertiga sedang duduk dekat tangga
gedung Fakultas Tarbiyah. Disanalah aku melihat Habibah. Dia begitu unik, lain
dengan wanita lain pada umumnya. Orang bilang dia tomboy, keras, suka musik,
dan harus dipenuhi keinginannya. Hari itu ternyata Allah telah mempertemukan
aku dengan seorang wanita yang sampai detik ini aku masih mencintainya.
Mulai
hari itu aku jatuh cinta padanya. Namun aku takut mengatakan kalau aku suka padanya.
Mungkin semua orang beranggapan kalau aku sudah gila karena jatuh cinta kepada
gadis yang memukul meja sebagai alat musik ketika dosen belum datang, selalu
pakai celana, nggak bisa pakai jilbab, lantang suaranya dan masih banyak lagi
yang sepantasnya seorang wanita tidak boleh melakukannya.
Namun
Allah membuka mata ini tuk lebih jauh melihat, melapangkan hati ini tuk lebih
dalam memahami karakteristik seorang Habibah. Hingga mulut ini berani
mengatakan kalau aku mencintainya. Ternyata dia juga cinta kepadaku. Tepatnya
waktu, tanggal dan bulan ini dia mengatakan kalau menerima aku apa adanya
sebagai kekasih hatinya. Hari itu ku kenang sebagai hari jadiku bersamanya dan
hari hadiah tuk bunda.
Cinta ini tumbuh seiring waktu yang
berjalan. Seribu rintangan selalu kita hadapi bersama, hari ini putus besok
nyambung lagi. Dia begitu setia dengan cintanya. Dia berharap suatu hari nanti
kita akan hidup bersama, memiliki anak dan keluarga yang bahagia. Karena cinta
yang begitu besar hingga tiap malam tahun baru dan tiap malam di bulan Ramadhan
aku selalu memohon kepada Allah agar Habibahlah jodohku yang akan selalu disisi
ini sampai ajal menjemputku.
Dia selalu ada ketika ku butuhkan. Selalu
hadir temani hari – hariku baik ketika suka maupun duka. Dia rela menjagaku
sepanjang malam ketika semua orang terlelap. Sedetikpun matanya tak mau
berkedip ketika melihat tubuhku terbaring sakit di atas ranjang tua rumah sakit
selepas aku operasi usus buntu. Diri ini adalah harapan dan impian hidupnya.
Dalam tubuh ini ada kehidupan bermakna cinta melalui sesuap nasi dan segelas
air yang pernah dia berikan untukku. Dalam detak jantungku ada cinta yang
selalu dia curahkan untukku. Disetiap langkahku ada amanah cintanya. Dan sepanjang
hidupku ada kasih sayang yang tercipta dari hati yang tulus suci hanya
untuknya.
Dia rela berubah untukku. Dia yang dulu
tomboy kini berubah menjadi Habibah yang feminim. Dia yang dulu keras kini
berubah menjadi lemah lembut, penyayang, ikhlas dalam berbagi, lugu, cengeng,
dan cintanya semakin tumbuh. Meskipun terkadang sering marah, cembrut seperti
anak – anak. Kasih sayangnya yang tak ternilai untukku itulah yang membuatku
ingin hidup dengannya. Bagiku dia bukan sekedar sosok wanita yang aku cintai tapi
dibalik itu aku memperoleh segudang ilmu darinya. Dia mampu mengajariku arti
sebuah cinta, pengabdian, pengorbanan, kesetiaan, keteguhan hati, kesabaran,
dan menghargai kelemahan orang lain. Dia juga sering mengajariku mengaji dengan
tajwid agar setiap huruf dari al – Qur’an mendapatkan haknya masing – masing
baik dari segi lafadznya maupun dari segi panjang-pendeknya bacaan. Hingga
suatu hari aku menyebutnya “guru”.
Dia beda dengan wanita lain. Dalam
hatinya begitu berakar arti sebuah kesabaran. Baginya kesabaran adalah kunci
dari seribu pintu kesuksesan. Itulah ilmu yang sulit dan jarang orang bisa
memilikinya. Aku berharap dialah pendamping hidupku nanti.
Sudahlah, masih banyak lagi keistimewaan
yang dia miliki dan ku tak akan sanggup menyebutkannya.
“Hari ini kalian sudah tahu bahwa hati
ini tak akan sanggup melupakan Habibah dan berhentilah untuk memikat hatiku.
Masih banyak lelaki di luar sana yang lebih baik dari kakak”, usai ceritanya.
“Maafin kami kak, selama ini sudah
mengganggu hati kakak. Liska dan Dewi berharap semoga suatu hari nanti kakak
mampu mendapatkan cinta sejati kakak, sekali lagi maafin kami kak”, ujar
keduanya.
Mulai sejak itu kedua orangtuanya tidak
mau mengusik atau membuat rencana lagi untuk memaksa Dang cepat – cepat
menikah. Mereka mulai mengerti akan perasaan anaknya bahwa hanya Habibahlah
yang mampu meluluhkan hatinya.
Tibalah suatu hari Dang dapat tugas dinas
dari sekolah untuk mengikuti sebuah acara di Mataram. Dengan senang hati dia
menerima tugas tersebut dan berniat akan mampir di rumah Bapak TGH. Ahmad
Rifa’i ketika pulang ke Sumbawa sehabis tugas tersebut selesai.
Sampai di Mataram dia bertemu dengan
sahabat karibnya yakni Habibi. Kebetulan pada saat itu Habibi juga mengikuti
acara tersebut. Namun ada yang beda dengan Habibi, tubuhnya sudah agak gemuk
ditambah lagi ternyata dia sudah menikah dengan wanita yang dia impikan sejak
dibangku kuliah, dia adalah Yana teman kelas Dang juga waktu kuliah. Mereka
banyak berbagi cerita. Tanpa ada kabar ke Sumbawa ternyata banyak teman – teman
kelas dulu yang sudah menikah.
“Terus bagaimana dengan Habibah, kamu
masih jalan dengannya kan?”, Tanya Habibi.
“Ceritanya panjang Bi, Jujur kalau aku
masih mencintainya dan begitu berharap kalau suatu hari nanti aku bisa hidup
dengannya, tapi aku tidak tahu apakah Habibah masih mencintaiku atau tidak”,
jelasnya.
“Wah, jangan – jangan Habibah sudah nikah
dengan laki – laki lain”, tambah Habibi lagi.
“Aduh, jangan gitu donk Bi, terus aku
sama siapa?”, Tanya Dang.
“Ya… sama Nifa aja”, jawab Habibi.
“Yang benar aja kamu ini, terus gimana
kabarnya dia dengan Ahmad”, Tanya Dang lagi.
“Ya..ya maaf. Aku bercanda. Seingatku 3
bulan setelah kita wisuda, Ahmad langsung melamar Nifa. Jadi mereka sudah
meried. Itupun aku di kasitahu ma Habib. Kebetulan kemarin itu dia ma Endang
yang pergi ke acara pernikahan mereka. Tahu kan anak – anak kelas B paling
kompak di Matematika”, jawab Habibi.
“Kamu ini nanya – nanya orang nikaaah
aja. Terus kamu nikahnya kapan?”, Tanya Habibi lagi.
“Segera, ntar aku undang semuanya. Tapi
belum tahu ni dengan siapa aku akan menikah. Cintanya Habibah masih melekat
dihatiku dan begitu sulit untuk ku hapus. Biarlah, aku juga tidak mau cinta ini
pergi dariku”, jawab Dang.
“Adik juga kak”, tiba – tiba datang suara
dari belakang.
“Adik juga rindu, cinta dan tidak akan
menghapus cinta ini dari hati adik”, ternyata itu suara Habibah.
“Bibah!, kamu juga ikut acara ini?”,
sambung Habibi.
“Ya”, jawabnya.
Setelah itu Habibi pergi dan membiarkan
sahabat karibnya itu melepas kerinduan bersama orang yang dia cintai.
“Suamimu mana?”, Tanya Dang.
“Ini dia di depanku”, jawab Bibah sambil
menunjuk kearah Dang.
“Bukannya kamu sudah menikah kata
Bapak?”, Tanya Dang.
“Kakak bercanda kan?, demi Allah adik
belum menikah. Dari saat kakak meninggalkan pondok dulu tiap pagi adik selalu
berdiri depan pintu gerbang menanti kakak kembali lagi, meskipun sedetik ingin
rasanya adik menatap wajah kakak. Adik begitu merindukan kakak. Anak – anak di
pondok juga sering nanya kapan kakak kembali. Namun adik hanya bisa diam
terpaku, tak bisa jawab apa – apa. Adik menunggu dan terus bertanya kapan kakak
datang?. Adik mohon setelah acara ini usai, kakak pergi temui bapak lagi.
Katakan kalau kakak sangat sayang dan ingin menikah dengan adik”, pinta Habibah
dengan wajah lugu.
“Kak Ibi dan Habib gimana?, apakah mereka
masih di Mesir?”, Tanya Dang lagi.
“Kak Ibi dah selesai studynya, kebetulan
Habib lagi liburan jadi mereka berdua pulang dan sekarang ada di pondok”, jawab
Habibah.
“Baiklah, nanti kita pulang bareng ya,
terus kakak mampir di rumahmu. Masalah pernikahan ntar dah kakak pikir – pikir
lagi soalnya takut gagal lagi”, jelas Dang.
Setelah acara tersebut selesai mareka
langsung pulang ke Beleka – LOTENG untuk menemui Bapaknya Habibah. Sampai
disana Dang disambut dengan senyum bahagia akhirnya pangeran pulau seberang
kembali lagi. Namun ada satu wajah yang masih sembunyi. Benar, itu adalah kak
Ibi. Beliau belum bisa menerima kehadiran Dang dalam keluarga itu, hingga
bersikeras untuk menolak adiknya menikah dengan Dang.
Meskipun
demikian Bapak ingin agar Dang tinggal beberapa hari lagi di pondok untuk
mengajar sekaligus mengobati rindunya para santri karena sudah lama berpisah.
Namun kak Ibi tetap berupaya mencari cara bagaimana Dang cepat kembali ke
Sumbawa dan tidak menikahi adiknya. Melihat keadaan tersebut Dangpun mengerti
dan memutuskan untuk segera kembali ke Sumbawa. Namun Habibah tidak
menginginkan Dang pulang, jikapun pulang harus dengannya. Sampai suatu malam
setelah sholat jama’ah di Musholla samping rumah mereka duduk berdua dengan
pandangan jauh. Dang duduk dekat mimbar dan Habibah menyandar di pintu.
“Kenapa
kakak tidak bawa adik lari dari sini agar kakak bisa hidup dengan adik?, adik
ikhlas kak meninggalkan semua ini asalkan adik bisa hidup dengan kakak, kemana
dan dimanapun kakak akan bawa, adik rela kak!”, kata Bibah.
“Maksudmu,
kita kawin lari?”, Tanya Dang.
“Ya, terus gimana lagi kalau bukan,
ini satu – satunya jalan agar kita tetap bersama”, jawab Bibah.
“Nggak Bah, kakak tahu adat disini
umumnya kawin lari tapi kakak sudah berjanji kepada Ma’ dan Ua’ kalau kakak
tidak akan kawin lari, disamping itu juga kakak tidak mau merusak nama baik
keluargamu disini. Dinda, jika memang benar Allah berkehendak kita jodoh maka
pasti ada jalan lain yang lebih baik dari ini. Bersabarlah…..”
“Cukup, hentikan semua omong
kosongmu. Kau anak Sumbawa yang sombong sekarang juga kau pergi dan kembali ke
kampong halamanmu, aku muak melihat wajahmu. Dan kau Bibah masuk ke kamarmu”,
suara lantang dari Habibi yang sudah mendengar pembicaraan mereka berdua.
Tanpa berfikir panjang malam itu juga anak Sumbawa
itu pulang. Bapak dan Ibu keheranan tiba – tiba tanpa permisi Dang pulang tidak
seperti biasanya. Bibahpun menangis dalam hatinya marah melihat tingkah
kakaknya yang begitu kasar kepada Dang.
Akankah kesedihan Habibah berakhir…?????
Akankah Habibah kehilangan Dang untuk kedua
kalinya…?????
No comments:
Post a Comment