Tiba – tiba diruang tamu berdiri dengan
pisau tajam di tangannya, Habibah ingin bunuh diri. Namun kejadian itu bisa
diatasi karena Habib yang lagi nonton TV dengan ilmu silatnya langsung menikam
kakaknya dan berhasil mengambil pisau tersebut. Suasana menjadi sepi, semua
keluarga duduk terdiam, terpaku, tanpa satu katapun terucap. Tiba – tiba
Habibah berdiri dan berjalan ke depan kakaknya.
“Apalah arti sebuah gelar jika kau tak
mampu memaknainya. Jauhnya Al – Azhar kau pergi menimba ilmu namun ucapanmu
lebih tajam dari sebilah pedang. Kau sakiti hati orang yang tak bersalah.
Salahkah dia mengejar tujuan hidupnya?
Salahkah dia karena berani mencintai
adikmu ini?
Dan salahkah adik memilih orang yang adik
cintai?
Di mata kakak dia adalah anak paling
sombong yang pernah kakak temui. Tapi di mata semua orang dia bagai malaikat
yang begitu mulia dan mau berbagi dengan orang lain.
Ingat ketika adik masih kuliah. Kakak
tahu siapa yang menjaga adik di kampus? Siapa yang menyuapi adik ketika adik
sakit di kampus? Siapa yang ngajari adik belajar Matematika hingga hari ini
adik bisa Matematika? Siapa yang rela meluangkan waktunya temani adik kemana –
mana?. Hanya dia kak. Dia orang yang kakak usir dari rumah ini.
Ingat juga ketika kakak masih di Mesir.
Kakak tahu siapa yang melamar adik hingga dia harus menghafal 2 jus al-Qur’an,
puasa 30 hari, memimpin pondok sambil mengajar Matematika bahkan rela menunggu
kakak kembali ke sini?. Dia adalah orang yang kakak usir dari rumah ini. Sudah
tiga tahun kak, adik menunggu hari ini datang tapi kenapa kakak hancurin
semuanya.
Bagaimana jika kakak berada di posisi
adik? Melihat orang yang paling kakak cintai di usir dan tidak pernah dihargai
perjuangannya?. Jawab kak, jawab!.
Kenapa?, kenapa diam?, apakah Al –
Azharmu tidak mengajarimu tentang bagaimana menghargai perasaan orang lain?.
Tapi cukup. Cukup sampai disini adik
tersiksa. Adik tak akan bicara tentang nikah lagi. Hari ini kakak usir orang
yang menurut adik mampu membuat adik bahagia. Tapi setelah ini kakaklah yang
harus membawa seorang lelaki yang menurut kakak pantas untuk adik tercintamu
ini”. Keluh Habibah.
Suasana diam itu berubah menjadi
tangisan. Bapak Ibu merasa gagal dalam mendidik anak, kak Ibi merasa menyesal,
Habib dan Khotib ikut menangis lihat Habibah begitu teguh dan tulus cintanya
kepada kak Dang. Mulai saat itulah kak Ibi sadar bahwa setiap orang berhak
untuk mencintai dan dicintai. Cinta habibah hanya pantas untuk Dang karena
hanya dia yang begitu mengerti dengan hati adiknya. Habibi mulai sadar begitu
besar cinta seorang Dang kepada Bibah, begitu juga sebaliknya. Dari penyesalan
tersebut Habibi memutuskan pergi ke Sumbawa untuk meminta maaf kepada Dang
sekaligus mengajaknya kembali ke pondok dan menemui adiknya.
Akankah
Habibi mampu membawakan Dang untuk Habibah…?????
No comments:
Post a Comment