Suasana
ramai dan banyaknya hiasan bergantungan di rumah Dang membuat Habibi heran
hingga gemetarlah hatinya. Dalam hatinya bertanya siapa yang nikah. Tanpa
berfikir panjang lebar diapun bertanya kepada salah seorang diantara mereka
yang lagi duduk di emperan masjid.
“Permisi pak, mau nanya. Siapa yang nikah ya pak?”.
“Ini
bukan acara nikah Pak, tapi acara khitan. Yang di khitan itu Husnul anak
bungsunya keluarga ini dan Ilham cucunya”, jawab orang itu.
“Kalau
gitu Dangnya ada Pak? Saya ingin ketemu dengannya”.
Habibipun dipersilahkan masuk dan menemui
Dang yang kebetulan lagi istirahat di kamarnya.
“Dang, aku minta maaf karena malam itu
telah berkata kasar kepadamu”, sapa Habibi.
“Sudah
lupakanlah kejadian itu kak. Bahkan sebelum kakak minta maaf saya sudah
memaafkan kakak. Mungkin inilah takdir kalau adik kakak bukanlah jodohku dan
Allah telah menciptakan wanita yang lebih baik dari dia untukku”, balas Dang.
“Tidak
Dang. Justru kedatangan kakak ke sini ingin mengajakmu menemui Habibah dan
kakak ikhlas merestui kamu menikah dengannya. Cintanya hanya untukmu. Bagi dia
kamulah satu – satunya sosok lelaki yang mampu membuat hatinya bahagia. Kakak mohon ikutlah dengan kakak ke Beleka. Kakak
mohon!!!”, mohon Habibi.
“Cukup kak. Kakak tidak boleh memohon
seperti itu. Tapi sayangnya hati ini sudah mulai belajar untuk bisa melupakan
Bibah. Seorang Dang tidak pantas mendampingi Bibah dan menjadi bagian dari
keluarga kakak. Di luar sana masih banyak lelaki yang lebih sempurna dari saya
dan pantas mendampingi Bibah. Pulanglah kak, sampaikan salamku untuk Bibah,
inilah takdir bahwa cerita cinta kita hanya sampai disini”, jelas Dang.
Dengan hati penuh penyesalan yang
diselimuti kesedihan Habibi pulang dengan tangan hampa. Rasa penyesalan yang
begitu mendalam membuat dia tidak bisa berbuat apa – apa lagi. Sepanjang
hidupnya dia tidak pernah rela melihat tetesan airmata adiknya. Dia begitu
sayang kepada adiknya hingga apapun akan dia lakukan untuk kebahagiaan adiknya.
Tapi hari itu, dia telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dia telah
merampas kebahagiaan itu, dia telah menghancurkan harapan dan impian adiknya
untuk menikah dengan Dang. Akhirnya, dia putus asa dan serahkan semuanya kepada
Allah.
Mulai saat itu Habibah hanya bisa
bersedih, terkadang menangis tanpa sebab, kurang makan, jarang tersenyum atau
ketawa dengan orang lain. Melihat keadaan itu, semua penghuni rumah bingung dan
mulai mencari cara bagaimana putri satu – satunya itu bisa kembali senyum lagi.
Akhirnya, Bapak memutuskan untuk pergi ke Sumbawa membawa Habibah dan
dinikahkan dengan Dang karena beliau merasa hanya itu satu – satunya jalan agar
putrinya bisa tersenyum lagi. Bersama Ibu, beliaupun berangkat membawa Bibah ke
Sumbawa. Setiba disana mereka disambut dengan meriah, karena masyarakat
setempat mengetahui dari Dang bahwa yang datang adalah seorang Tuan Guru yang
memiliki ilmu agama cukup tinggi. Sehingga perlu dihargai dan dihormati. Tanpa
basa basi kemudian didepan semua orang Bapak menyampaikan sesuatu dengan wajah
mengarah kepada Dang.
“Ingatlah dulu ketika kau datang
menjenguknya. Ku berikan kau baju dan sarung untuk mengganti pakaianmu yang
basah karena kehujanan. Dengan rasa hormatmu kepadaku kaupun menerimanya. Dan
hari ini, aku datang kepadamu membawa pakaian yang akan kau pakai sepanjang
hidupmu. Jika kau tak mau menerimanya sama halnya kau tak menghormati dan
menghargai pemberianku”, kata Bapak.
Lantas Dang menjawab :
Aku bukanlah Daud yang merdu ketika membaca firman
Tuhannya
Aku bukanlah Ibrahim yang setia pada perintah
Tuhannya
Aku bukanlah Muhammad yang begitu agung akhlaknya
Dan Aku bukanlah malaikat yang taat patuh kepada
titah Tuhannya
Aku
hanyalah manusia biasa tak berharga
Hanyalah
seorang pecinta yang hanya bisa mencintai
Segala
urusan dan keputusan ku hanya bisa pasrah
Kepada
Allah, pemilik titah cinta itu
Apalah
arti sebuah hidup tanpa tujuan
Tapi
kau bawakan tujuan itu dengan setulus hatimu
Tujuan
hidup yang ingin ku gapai sejak aku dilahirkan
Mencintainya
sampai ajal menjemputku
“Anak Sumbawa ini selalu menghormati
dan menghargai pemberian Bapak. Tak
berani menolak bukan karena takut tapi karena merasa setiap pemberian Bapak
adalah yang terbaik untuk hidupku. Dengan hati ikhlas tulus suci saya menerima
pemberian Bapak. Namun bolehkah saya meminta beberapa syarat seperti yang Bapak
lakukan ketika saya meminta ingin menikahi anak Bapak?”, Tanya Dang.
“Boleh
wahai anakku, katakan apa permintaanmu”, jawab Bapak.
“Pertama,
saya memiliki seorang adik namanya Husnul dan dua orang keponakan bernama Ilham
dan Putri, ijinkan mereka tinggal dan menimba ilmu di pondok yang Bapak pimpin.
Kedua, setelah menikah Habibah akan tinggal disini temani saya mengajari anak –
anak sini mengaji dan mengkaji ilmu agama. Ketiga, sebulan sekali Bapak harus
berdiri di atas mimbar masjid ini untuk menyampaikan pengajian bagi masyarakat
disini. Terakhir, mahar pernikahan saya yang tentukan. Apakah Bapak setuju
dengan permintaan itu?”, Tanya Dang balik.
“Tiga
permintaanmu yang pertama akan Bapak penuhi. Namun yang terakhir tidak bisa.
Karena tanpa sadar kau sudah memberikan mahar pernikahan untuk putriku. Nanti
kau akan tahu sendiri”, jawab Bapak.
Hari
itupun berlalu. Dang dan Bibah akan menikah tiga hari lagi karena atas
permintaan Dang. Mereka akan menikah dihari ulang tahun Habibah tepatnya pada
tanggal 4 April 2014. Saat itu Dang berumur 26 tahun dan Habibah berumur 24
Tahun.
Dalam
waktu dua hari itu pihak keluarga Dang harus mengirim Undangan Pernikahan ke
berbagai daerah. Undangan harus dikirim kepada keluarga Dang yang ada di
makassar (SULSEL), di Dompu, Bima, sebagian besar kawasan Sumbawa, Mamben
(LOTIM), dan teman – teman kuliah Dang dulu. Sementara di Beleka, untuk menebus
kesalahannya kak Ibi mengajak seluruh keluarga dan para santri yang ada di
pondok pergi ke Sumbawa untuk menyaksikan pernikahan Dang dan Habibah. Tak
terasa hari yang ditunggu - tunggu itupun tiba.
Setelah
Bapak TGH. Ahmad Rifa’i menikahkan anaknya dengan Dang, beliaupun naik di atas
mimbar untuk memberikan ceramah dan amanah kepada seluruh masyarakat yang
hadir. Kemudian beliau menutup ceramahnya dengan berkumandang.
“Wahai
engkau pangeran Sumbawa……..
“Dua
jus Al-Qur’an hafalanmu adalah mahar yang akan kau bacakan untuk masyarakat
tempat tinggalmu bersama putriku setelah menikah ketika sholat berjama’ah
karena engkau akan jadi imam. Puasa 30 hari akan mencuci jiwa dan ragamu agar
keturunanmu menjadi anak yang sholeh – sholehah dan itulah mahar termahal yang
akan kau berikan untuk keluarga ini khususnya putriku. Jabatan sebagai pimpinan
pondok adalah mahar yang kau berikan untuk kemajuan pondok ke depan dan itu
akan mengajarimu bagaimana hidup bertanggungjawab sebagai seorang pemimpin.
Kemudian menggantikan putriku mengajar Matematika adalah mahar yang kau berikan
pada seluruh santri pondok itu. Itulah empat mahar yang telah kau miliki untuk
dipersembahkan dihari pernikahanmu dengan putriku. Keempat mahar itu telah
mampu membentuk jiwamu menjadi jiwa yang sabar dan tabah serta teguh pada
pendirian meski beribu penderitaan yang kau jalani.
Dan
engkau wahai putriku, penantian yang begitu panjang serta kepedihan yang
berkepanjangan telah melatihmu menjadi seorang istri yang sabar dan tabah
setiap menghadapi cobaan, teguh dalam pendirian dan setia pada orang yang kau
cintai. Sungguh, hari ini Allah menepati janji – Nya untuk kalian berdua”, usai
ceramah Bapak.
Para hadirin terharu dan bangga pada
cerita cinta mereka. Sebuah kisah yang begitu banyak mengandung pelajaran
penting untuk dipetik.
Setelah sekian lama hidup bersama. Mereka dikarunia tiga orang
anak. Anak pertama bernama Ahmad Al Musthafa yang diambil dari nama kedua
kakeknya, anak kedua bernama Husnul Habibah yang diambil dari nama Ibunya.
Terakhir bernama Habibi Al Musthafa yang diambil dari nama Paman dan kakeknya.
Setelah dewasa Ahmad Al Mustafa menjadi Tuan Guru di Beleka meneruskan perjuangan
kakek dan pamannya untuk mengembangkan pondok pesantrennya. Husnul Habibah
menjadi dokter spesialis Bedah di Rumah Sakit Umum Sumbawa. Sedangkan Habibi Al Musthafa hanya mencapai gelar sarjana muda (S1) karena dia ingin menjaga kedua
orangtuanya sambil mengurus pondok pesantren yang baru dia bangun bersama Ayah
dan Ibunya.
No comments:
Post a Comment